Kampung Simpen: Negara Membisu, Rakyat Digusur — Di Mana Bupati dan Gubernur?
BANDUNG-Majalahkriptantus.com. Di Kampung Simpen, Desa Tenjolaya, Cicalengka, puluhan tahun kehidupan warga kini terancam digusur hanya karena mereka tak memiliki selembar kertas yang diakui negara. Sertifikat jadi senjata, dan hukum jadi palu yang memukul rakyat kecil tanpa ampun. Tak peduli bahwa mereka telah tinggal, menanam, membayar pajak, dan membangun ruang hidup selama puluhan tahun—semua itu dianggap tak sah. Negara memilih melihat dokumen, bukan kenyataan. "Papar Maman Ketum Bamuswari
Lebih lanjut Maman mengatakan, Dan dalam semua ini, Bupati Bandung diam. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, pun belum bicara tegas. Pertanyaannya sederhana: di mana posisi kepala daerah saat rakyatnya diusir dari tanahnya sendiri? Jika kekuasaan tak digunakan untuk membela rakyat, untuk apa jabatan itu dipertahankan?
Kampung Simpen bukan sekadar sengketa tanah—ini adalah uji komitmen moral dan politik. Sejauh mana kepala daerah berani memutus rantai ketidakadilan struktural yang sudah terlalu lama dibiarkan? Sejauh mana Bupati dan Gubernur bersedia berpihak bukan hanya secara kata, tetapi secara tindakan nyata?
Jika mereka memilih netral, maka mereka telah memilih berpihak pada penindas. Karena dalam konflik seperti ini, netralitas adalah bentuk keberpihakan terhadap penguasa modal dan sistem hukum yang cacat. Tidak ada ruang abu-abu. Rakyat digusur atau dilindungi. Itu saja. "Ucap Maman pada awak media Rabu (16/04/2025)
Agus Gustiana ketua DPW Jawa Barat Bamuswari pun menyampaikan, Kang Dedi Mulyadi dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan kultur Sunda dan sering bicara soal nilai-nilai leluhur. Tapi nilai apa yang tersisa ketika tanah rakyat diambil paksa dan pemimpinnya bungkam? Budaya apa yang ingin dilestarikan jika rakyat kecil terus dikorbankan atas nama pembangunan?
Pemerintah daerah punya kuasa, punya instrumen hukum, dan punya pengaruh politik. Jika mereka benar-benar berpihak, mereka bisa keluarkan keputusan yang menghentikan proses penggusuran, mendorong pengakuan hak atas tanah berdasarkan penguasaan historis dan sosial, dan membuka jalan reforma agraria sejati. Tapi jika mereka terus berlindung di balik prosedur, maka mereka tak lebih dari pelayan sistem yang melanggengkan ketimpangan.
Warga Kampung Simpen hari ini tidak butuh simpati. Mereka butuh pembela. Dan pembela itu seharusnya adalah pemimpin yang dipilih untuk melindungi mereka. Jika Bupati Bandung dan Gubernur Jawa Barat terus diam, maka rakyat akan bergerak sendiri. Karena ketika negara gagal menjalankan kewajibannya, perlawanan bukan hanya sah—ia adalah kewajiban.
Tanah rakyat bukan barang dagangan. Dan jika kepala daerah tidak berani berkata demikian, maka mereka bukan pemimpin—mereka hanya perpanjangan tangan dari kekuasaan yang tak berpihak. "Tandas Agus.
Ketua DPW Bamuswari
Provinsi Jawa Barat
Agus Gustiana
Tidak ada komentar