Buktikan 3 fakta bahwa secara empiris hukum pidana Indonesia tidak menganut asas legalitas mutlak. - majalahkriptantus.com - Menyajikan berita secara faktual, independent dan sesuai fakta.

Breaking News

Buktikan 3 fakta bahwa secara empiris hukum pidana Indonesia tidak menganut asas legalitas mutlak.


MAJALAHKRIPTANTUS.COM--Asas legalitas termasuk asas yang bisa dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asasini tersirat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang dirumuskan demikian bahwa “Tiada suatuperbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”. Dengan demikian bisa disimpulkan arti dari asaslegalitas yakni tiada perbuatan yang bisa dihukum kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidanamenurut Undang-Undang yang sudah ada terlebih dahulu. Akan tetapi berdasarkan fakta empirismenunjukkan bahwa hukum pidana Indonesia tidak menganut asas legalitas mutlak. Hal tersebutdisebabkan oleh berbagai hal sebagai berikut:

a. Perundang-undangan pidana yang harus dirumuskan secara tertulis. Namun pada realitadan faktanya menunjukkan bahwa di Indonesia hukum yang berlaku (hukum positif)yang dibentuk dan dibuat oleh penguasa, hukum Islam serta hukum adat. Dalam lapanganhukum pidana selain atas dasar KUHP dan Undang-Undang di luar KUHP dalammasyarakat adat juga diakui keberlakuan hukum adat pidana yang pada umumnyatidaklah tertulis namun ditetapkan sebagai kaidah yang tetap hidup, tumbuh dandipertahankan oleh masyarakat adat sebagai hukum yang hidup. Pengakuan berlakunyahukum yang tidak tertulis melalui hukum pidana adat juga ditetapkan dengan Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara UntukMenyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, Pasal 5 ayat (3) sub b Jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 Tentang PenetapanSemua Undang-Undang Darurat Dan Semua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah Ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-Undangsebagaimana diatura dalam Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951.

b. Peraturan Hukum Pidana Tidak Boleh Berlaku Surut. Guna menjamin kepastianhukum harus ditetapkan terlebih dahulu ketentuan pidana tentang suatu perbuatan tindakpidana baru kemudian pelanggaran terhadap ketentuan itu dapat dikenakan sangsi pidanasebagai konsekuensi logis pilihan bebas subyek hukum untuk berbuat suatu perbuatanyang dilarang, hal ini sejalan dengan prinsip umum bahwa setiap orang terikat pada suatuundang-undang sejak undang-undang tersebut dinyatakan berlaku dan telah diundangkandalam lembaran Negara. Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jikalauundang-undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada tersangka dikenakanketentuan yang menguntungkan baginya. Ini membuktikan bahwa UU bisa diberlakukansurut selama ketentuan UU yang lama atau terdahulu lebih menguntungkan terdakwa.Menurut R Soesilo bahwa lebih menguntungkan meliputi ringannya hukuman, tentanganasir peristiwa pidananya, tentang delik aduan atau tidak, mengenai persoalan salahtidaknya terdakwa dan sebagainya. Demikian pula dalam praktek penegakan hukumkasus pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur dan kasus Tanjung Priok, asaslegalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif. Tertera dalam Pasal 43 ayat(1) UU No 26 tahun 2000 yang menyatakan bahwa pelanggaran HAM Berat yangterjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus olehpengadilan Ham ad hoc. Ini berarti undang-undang pengadilan HAM berlaku juga bagipelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut.


c. Dalam Penerapan Hukum Pidana Tidak Boleh Menggunakan Analogi, Salah satuprinsip asas legalitas yakni bahwa dalam penerapan hukum pidana tidak bolehmenggunakan analogi. Analogi ialah menerapkan suatu ketentuan hukum pidana (yangmempunyai kemiripan atau bentuk yang sama) terhadap suatu perbuatan yang pada saatdilakukan tidak ada ketentuan hukum pidana yang mengaturnya. Penerapan analogimenunjukkan ketertinggalan hukum terhadap apa yang seharusnya diaturnya. Salah satucontoh penerapan analogi yang sangat fenomenal dalam sejarah penegakan hukum pidana adalah penerapan analogi oleh hakim Bismar Siregar pada tahun 1983, melalui putusanPengadilan Tinggi Medan No. 144/ PID/1983/PN/Mdn Bismar Siregar menganalogikanunsur barang yang terdapat dalam Pasal 378 KUHP dengan keperawanan wanita dansekaligus menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara. Kasusnya mengenai seorang pria yangbernama Mertua Raja Sidabutar yang berjanji akan menikahi seorang gadis setelah iamelakukan hubungan persetubuhan dengannya, tetapi si pria ingkar janji sehingga sanggadis merasa ditipu. Putusan tersebut menimbulkan pro dan kontra, akhirnya MahkamahAgung membatalkan putusan yang cukup kontroversial ini. Penerapan hukum pidanaterhadap kasus konkrit dimana Hakim harus melakukan penemuan hukum melaluisumber hukum dengan menggunakan metode penafsiran dalam hukum pidana, penafsirandibutuhkan dalam hukum pidana, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermatperbuatan apa saja yang dapat dipidana.Dengan demikian dari 3 fakta diatas memiliki arti bahwa secara empiris hukum pidana Indonesiatidak menganut asas legalitas mutlak.


Terkait dengan Pertanyaan dan saran bisa melalui coment di bawah..
RED-WHW

Tidak ada komentar